Monday, June 30

Ketika Jalanan Berbicara

Bulan sabit yang tersenyum dari balik awan memancarkan sinar lembut yang menerangi kegelapan malam. Angin malam yang berdesir menciptakan ketenangan yang mendalam. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terputus saat seorang remaja penuh semangat, Aaron, berlari cepat di tengah jalanan yang sepi.

Deru kendaraan terdengar melesat, seperti kuda liar yang membelah malam dengan gemuruh. Motor itu menerjang tanpa pandang bulu, acuh tak acuh terhadap rambu lalu lintas yang telah berubah arah. Dalam sekejap, suara benturan keras menggema, memecah keheningan malam dan mengguncang jiwa siapa pun yang mendengarnya.

Warga sekitar segera berbondong-bondong keluar dari rumah, dipenuhi rasa cemas dan penasaran. Dengan senter dan alat seadanya, mereka menyusuri jalanan gelap hingga menemukan pemandangan memilukan: seseorang terbaring tak berdaya di aspal, kakinya bersimbah darah. Jeritan kecil tertahan di tenggorokan mereka. Seseorang segera menghubungi layanan darurat.

Tak lama kemudian, suara sirene ambulance meraung menembus keheningan malam. Warga sekitar membantu mengangkat tubuh Aaron ke atas brankar, berusaha setenang mungkin meski tangan mereka gemetar. Lampu jalan menciptakan bayangan yang bergerak di antara kerumunan, menambah suasana dramatis di tengah malam.

“Seseorang hubungi keluarganya segera!” teriak seorang perawat dengan nada tegas namun panik.

“Saya akan melakukannya!” sahut seorang warga, buru-buru mencari ponselnya.

Sementara itu, seorang perawat menunduk mendekati Aaron, suaranya lembut namun tegas, “Tahan, ya. Kami akan segera membawamu ke rumah sakit. Kamu akan baik-baik saja.”

Di unit gawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat, suasana sebelumnya tenang. “Heuhh, untung saja malam ini sepi,” ucap Vivi, seorang perawat. Tatapan tajam langsung mengarah padanya.

“Vi, jangan pernah u—” belum selesai Alexa memperingatkan, telepon di meja resepsi berdering keras.

Karina, yang berada paling dekat, mengangkat dengan tangan gemetar. “Ha-halo, ini UGD RSUP, ada yang bisa dibantu?” suaranya nyaris patah.

Tak lama, dia menutup telepon dan berbalik dengan ekspresi panik. “Kecelakaan tunggal. Pasien dalam kondisi kritis. Kita butuh semua peralatan medis sekarang!”

Tim medis langsung bergerak. Suasana berubah tegang. Semua bergerak cepat dan terorganisir, berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa yang datang tak terduga.

Sesaat kemudian, Aaron tiba di UGD. Dokter-dokter berpengalaman memimpin penanganan. Perawat-perawat bekerja dengan cekatan. Di ruang tunggu, keluarganya duduk gelisah, memanjatkan doa dalam diam.

Setelah berjam-jam ketegangan dan kerja keras, seorang dokter keluar dari ruang intensif. Wajahnya memperlihatkan kelegaan. “Boleh masuk sebentar,” ucapnya lembut.

Keluarga Aaron masuk. Ia telah sadar, meski masih lemah.

“Ibu, ayah, bagaimana kalian di sini?” tanya Aaron dengan suara pelan.

Ibunya menggenggam tangan Aaron. “Kami datang segera setelah tahu kamu kecelakaan.”

Dengan nada sesal, Aaron berkata, “Aku harus jujur… ini semua salahku. Aku melanggar aturan lalu lintas.”

Ayahnya memeluknya, “Yang penting kamu selamat. Kita akan bicarakan sisanya nanti.”

Suasana berubah menjadi haru. Kejujuran Aaron menjadi awal dari penyesalan dan tekad baru.

Setelah beberapa minggu pemulihan, Aaron duduk di tepi tempat tidurnya. Ayahnya datang dan duduk di sampingnya.

“Aaron,” katanya lembut, “pengalaman ini pelajaran besar. Aturan lalu lintas ada untuk keselamatan semua orang. Tapi yang paling penting, kamu mendapat kesempatan kedua.”

Aaron mengangguk, matanya serius. “Saya sangat menyesal, Ayah. Saya akan berubah.”

Ayahnya tersenyum. “Gunakan kesempatan ini untuk menjadi lebih bijak. Jadilah contoh, bukan hanya untuk dirimu, tapi untuk orang lain.”

Aaron tersenyum kecil. Di balik luka dan trauma, tumbuh kesadaran baru. Di malam yang kelam itu, bukan hanya cahaya bulan yang bersinar, tapi juga harapan baru dari seorang anak yang belajar arti tanggung jawab.